Tasikmalaya (18/4) Hari ke 3 kegiatan fathul kutub Siswa Akhir KMI Pondok Pesantren Darussalam Tasikmalaya berjalan dengan baik. Kali ini setiap kelompok mempresentasikan hasil dari materi yang telah didiskusikan , salah satunya yaitu materi yang dibawakan oleh kelompok 1 "hukum jual beli online". Materi yang disampaikan cukup menghangatkan suasana siang ini disampaikan oleh beberapa pemateri diantaranya Muhammad Ibrahim, Anfal Muhammad Yusuf, Nadhif Andini Subakti, disertai oleh moderator yaitu Ibnu Nugroho . Usai materi disampaikan, begitu antusiasnya para pendengar dengan munculnya banyak pertanyan salah satunya pertanyaan yang di ajukan oleh sodara M. Ryvan Azizan yaitu "Apakah boleh menjual-belikan barang yang rusak seperti halnya di OLX ?" kemudian pertanyaan yang dilontarkan oleh sodari Rini Nurmala bagaimana hukumnya bila ternyata barang yang diperjual belikan rusak atau tidak sesuai harapan. Beberapa pertanyaan yang muncul satu demi satu dijawab oleh pemateri.
Pada awalnya sistem jual beli itu sekedar penukaran barang (barter) , yaitu dengan manual dalam artian adanya pertemuan antara penjual dan pembeli, disertai dengan adanya transaksi dan ijab kabul. Namun seiring dengan zaman yang semakin canggih, zamannya serba internet hal jual beli pun akan lebih mudah.
Apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya dengan dasar pengambilan hukum:
1. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri, “Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks dan telegram dan semisalnya telah menjadi alternatif utama dan dipraktikkan.
2. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli, “(Dan menurut qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah) selain dalam masalah fuqa’—sari anggur yang dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat—jual beli barang ghaib, yakni barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut berstatus sebagai alat pembayar maupun sebagai barang yang dibayari.”
“Meskipun barang tersebut ada dalam majelis akad dan telah disebutkan kriterianya secara detail atau sudah terkenal secara luas (mutawatir), seperti keterangan yang akan datang. Atau terlihat di bawah cahaya, jika cahaya tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih. Demikian menurut kajian yang kuat.”
Dalam pandangan mazhab Syafi’i (sebagaimana referensi kedua), barang yang diperjual-belikan disyaratkan dapat dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan (ghoror) dalam jual beli.
Sebab, Rasulullah melarang praktik yang demikian, sebagaimana dalam sebuah hadis dinyatakan, “Rasulullah SAW melarang jual beli yang di dalamnya terdapat penipuan.” (HR Muslim). Pada dasarnya Islam sangat menekankan kepuasan (taradhin) diantara pihak penjual dan pembeli disamping juga mengantisipasi terjadinya penipuan dalam transksi jual beli.
Mudah-mudahan interaksi yang kita lakukan sesuai dengan subtansi ajaran Rasulullah SAW. Amin. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar